Menuju Desa Ekologis: Mengenal Desa Nusantara di Sumatera Barat Lebih Dekat

Sejarah desa Nusantara di Sumatera Barat dan perjalanannya yang akan menjadi desa ekologis atau sebuah komunitas yang ramah lingkungan.

Mengenal Desa Nusantara di Sumatera Barat Lebih Dekat

Desa Nusantara, sebuah permata tersembunyi di provinsi Sumatera Selatan, menanti untuk dijelajahi. Terletak di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pada awalnya, daerah ini merupakan hutan gambut yang sangat luas dan dilalui oleh Sungai Sugihan. Sungai Sugihan sendiri merupakan salah satu anak Sungai Musi.

Keberadaan Desa Nusantara di tengah hutan gambut dan Sungai Sugihan bukan tanpa alasan. Desa ini merupakan bagian dari program transmigrasi pemerintah. Para penduduknya berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Berlimpahnya kekayaan sumber daya alam di desa dipercaya mendukung peningkatan ekonomi masyarakat setempat karena dikelola sesuai kearifan lokal dengan memperhatikan keadaan lingkungan. Keyakinan tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk mencetuskan konsep Desa Ekologi.

Dibalik pencapaian ini, tersimpan  kisah kelam yang masih membekas di jiwa penduduk lama, para transmigran awal yang datang pada tahun 1981.

Kalo kamu ingin tahu kisah kelam seperti apa yang pernah terjadi di Desa Nusantara, baca sampai habis blog ini.

Sejarah Desa Nusantara

Pada tahun 1981, terdapat program transmigrasi yang menggunakan lokasi di wilayah hutan rawa gambut. Tender pembukaan lahan dan pembangunan kawasan program tersebut didapatkan oleh PT. Nusantara. Oleh karena, wilayah trans tersebut dinamakan Nusantara.

Warga desa Nusantara sendiri pada umumnya berasal dari Jawa Timur, yaitu Kediri, Madiun, Tulung Agung, Nganjuk, dan Mojokerto. Namun, pemukim pertama yang datang berasal dari Jawa Barat, yaitu Pandeglang dan Subang.

Saat pemindahan pertama, sekitar bulan September sampai Desember, ada kejadian yang bikin sedih. Banyak warga trans yang terserang penyakit kolera. Sampai-sampai, hampir setiap hari ada yang meninggal. Untungnya, pemerintah turun tangan. Mereka membangun Puskesdas dan membagikan obat oralit ke semua warga. Alhamdulillah, setelah itu, warga mulai beradaptasi dan penyakitnya pun mereda.

Tahun 1982, setahun setelah transmigrasi, para warga mulai belajar bertani padi dalam skala kecil dengan bibit yang mereka bawa dari Jawa. Namun, ketenangan mereka diuji dengan kejadian menegangkan: 242 ekor gajah Sumatera memasuki lahan warga dan terperangkap di sana. Dahulu, tempat itu merupakan habitat alami gajah-gajah tersebut.

Terjebak dan merasa terancam, gajah-gajah itu mengamuk. Kepanikan melanda para warga. Awalnya, solusi yang diusulkan adalah menembak gajah-gajah tersebut.

Namun, kabar genting ini sampai ke telinga Presiden Soeharto melalui Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup saat itu. Beliau menolak solusi penembakan dan memerintahkan operasi penyelamatan: menggiring ratusan gajah Sumatera tersebut meninggalkan lokasi ke wilayah Lebong Hitam, Lampung.

Operasi penyelamatan ini dinamakan Operasi Ganesha. Misi ini penuh dengan ketegangan dan rintangan:

  • Medan yang berat: Rute pemindahan gajah melewati hutan lebat dan berbukit.
  • Waktu yang terbatas: Operasi harus dilakukan dengan cepat sebelum gajah-gajah tersebut semakin terdesak dan membahayakan diri mereka sendiri dan warga.
  • Kekhawatiran akan keselamatan: Tim penyelamat harus berhati-hati agar tidak terluka atau terinjak gajah..

Berkat kegigihan tim penyelamat, 242 gajah Sumatera berhasil dipindahkan ke habitat baru mereka di Lebong Hitam. Operasi ini menjadi momen bersejarah dalam upaya pelestarian gajah Sumatera.

Tahun 1983-1984, para petani dihadapkan pada tantangan berat: gagal panen. Padi-padi mereka diserang hama tikus, babi, kera, dan ulat. Situasi ini diperparah dengan kondisi lahan gambut yang mereka gunakan. Lahan gambut memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan mudah terbakar.

Kegigihan para petani diuji. Mereka tidak menyerah dan terus berusaha mencari solusi. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi hama dan meningkatkan kesuburan lahan.

Perjuangan mereka tidak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, para petani berhasil mengembangkan teknik pertanian yang cocok untuk lahan gambut. Mereka menggunakan pupuk organik dan sistem irigasi yang tepat untuk meningkatkan hasil panen.

Pada tahun 2005, sawah warga tiba-tiba diklaim milik sebuah perusahaan HGU milik perusahaan sawit. PT SAML merupakan perusahaan yang mendapatkan izin prinsip 460/1998/BPN/26-27/2005 untuk menggarap lahan seluas 42 ribu hektar yang terletak di 18 desa di Kecamatan Air Sugihan dan diubah menjadi perkebunan sawit.

Desa Nusantara merupakan salah satu desa tersebut dan menjadi desa pertama yang menolak masuknya perusahaan tersebut di wilayah itu.

Pada tahun 2007, PT. SAML melakukan pembebasan lahan di 17 desa dan Nusantara menjadi satu-satunya desa yang menolak untuk membayar pembebasan lahan seluas 1200 hektar.

Pada tahun 2009, tiga orang petani dari desa Nusantara, yaitu Bapak Syaiful, Tursiman, dan Sukiman, menjadi tersangka atas pengaduan PT. SAML. Warga terus diusik perusahaan tersebut hingga tahun 2015 dan akhirnya pun berhenti karena warga selalu memberikan perlawanan secara konsisten.

“Kami ingin mengelola bukan jadi buruh. Merdeka atas tanah. Selain memenuhi kebutuhan kami, kami juga menyediakan pangan untuk orang lain”

- Warga Desa Nusantara -

Saat ini Desa Nusantara memiliki 28 gudang beras dan penggilingan padi. Jika produksi padi yang dihasilkan oleh desa Nusantara tetap stabil, hasil pertanian mampu memenuhi kebutuhan pangan padi sebanyak 41.509 jiwa tiap tahunnya (dengan kebutuhan 100 kg/jiwa/tahun).

Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB) memiliki perhitungan sederhana mengenai alasan kengapa mereka menolak perusahaan sawit. Dengan menanam sawit, apalagi hanya sekedar mendapatkan upah harian untuk memelihara sawit perusahaan, upahnya tidak akan sepadan dengan keuntungan akan diperoleh ketika panen padi. Selain itu, dengan tetap menanam padi, ketahanan pangan yang akan terjaga dan mereka bisa terhindar dari krisis pangan disaat paceklik.

Luas wilayah persawahan di desa Nusantara mencapai 1.200 hektar, dimana sawah tersebut dikelola oleh 600 KK. Sawah tersebut mampu menghasilkan beras sekitar 3.700 kg/ha ( 3,7 Ton beras/ha) untuk setiap tahunnya.

Produksi Beras = 3.700 Kg/Ha x 1.200 Ha = 4.440.000 kg ( 4.400 Ton ).

Jika dikonversikan kemata uang maka penghasilan dari pertanian pangan di desa Nusantara sebanyak:

Rp.7000/kg ( Harga Beras ) x 4.440.000 kg = Rp.30.800.000.000,-

1 hektar sawah membutuhkan biaya produksi sebanyak 5 Juta Rupiah. Jika dihitung penghasilan setiap KK di desa Nusantara sebanyak:

Biaya Produksi 1 ha = 5.000.000/ha x 1.200 ha = Rp.6.000.000.000

Penghasilan bersih = Rp.30.800.000.000 – Rp.6.000.000.000 / 600 KK = Rp.41.400.000/KK untuk sekali panen.

Kalo dipikir-pikir nih ya, menjadi seorang transmigran aja sudah sulit. Kita harus beradaptasi ditempat baru yang dulunya adalah habitat hewan liar. Salah satu tujuan program transmigrasi adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat agar lebih sejahtera, kan? Selain itu, penyebaran penduduk pun menjadi lebih seimbang dari sebelumnya.


Terdapat satu masalah yang dialami petani di desa Nusantara ketika memilih untuk mempertahankan lahan sawah daripada perkebunan sawit, yaitu terdapat monopoli pada penjualan pestisida dan pupuk oleh salah satu warga yang sebenarnya beliau sedang berposisi sebagai Penyuluh Pertanian.

Seluruh gudang beras dan penggilingan adalah miliknya. Begitu juga warga membeli pupuk dan pestisida darinya. Dengan demikian, sejak awal penanaman pun petani sudah berhutang dengan orang tersebut.

Ketergantungan menjadi eksploitasi ketika yang bersangkutan menolak dibayar dengan uang untuk melunasi utang tersebut. Beliau meminta bagian dari padi yang dipanen sebagai pelunasan dari pupuk dan pestisida yang dipinjam diawal, juga minta bagian dari padi yang digiling di tempat penggilingannya.

Jika 1 hektar padi membutuhkan biaya 5 juta, maka 1200 hektar padi di Desa Nusantara membutuhkan biaya perawatan sebesar 6 milyar. Itu belum termasuk biaya panen yang sangat besar karena membutuhkan tenaga dari luar untuk memanen.

Di saat masa panen, biaya hidup pun meroket. Namun demikian, setimpang apapun situasi produksi padi di Nusantara, tetap lebih menjamin keberlangsungan hidup warga dibandingkan jika mereka melepas tanah kepada perusahaan sawit.

Alasan lain warga Nusantara tetap menolak hadirnya perusahaan sawit adalah ketika mereka melihat situasi yang dihadapi desa-desa lain disekitarnya yang sudah terlanjur melepaskan tanahnya untuk dijadikan areal perkebunan.

Desa-desa tersebut mengalami kesulitan ekonomi yang lebih parah. Pada musim paceklik, banyak desa-desa ditinggal oleh warga laki-laki yang mencari pekerjaan di luar. Sedangkan warga perempuan menjadi buruh harian perusahaan yang sudah harus berangkat ke lahan perusahaan sebelum matahari terbit untuk upah yang sangat rendah.

Selain menanam padi, warga pun ada yang menanam kopi Liberica, nanas, nangka, buah naga, jeruk kunci, cabe rawit, kebun karet, ternak kambing dan sapi, bahkan sampai memancing disamping rumah.

Dana Nusantara

Dana Nusantara merupakan sebuah program pendanaan yang dikembangkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Bantuan pendanaan yang diberikan melalui program Dana Nusantara akan difokuskan pada masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan pendanaan, serta memiliki potensi untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Pada tahun 2022, program ini sudah diimplementasikan pada 12 lokasi WKR (Wilayah Kelola Rakyat). Alhamdulillah, Desa Nusantara terpilih menjadi penerima Dana Nusantara.

Apa yang akan Desa Nusantara Lakukan Kedepannya?

  1. Intervensi RP JMDES untuk kebutuhan organisasi.
  2. Membuat lahan garapan percontohan untuk berbagai jenis tanaman.
  3. Mengikuti berbagai pelatihan peningkatan kapasitas.

Desa Nusantara Menuju Desa Ekologis

Desa Nusantara, sebuah desa transmigrasi di Sumatera Selatan, tengah berbenah diri menuju desa ekologis. Desa ini memiliki potensi besar untuk menjadi model pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh pihak.

Apa itu desa ekologis?

Desa ekologi adalah sebuah sistem kelola wilayah pedesaan yang terpadu dan melibatkan seluruh pihak baik dalam proses tata kuasa, kelola, produksi, dan konsumsi tanpa eksploitasi. Maka Desa Ekologi sebagai sebuah pendekatan penting bagi upaya perbaikan pengelolaan desa sebagai pendukung utama pembangunan nasional.

Desa Nusantara memiliki beberapa keunggulan untuk menjadi desa ekologis, di antaranya:

  • Masyarakat yang kompak dan memiliki semangat untuk membangun desa
  • Sumber daya alam yang berlimpah
  • Dukungan dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah

Desa Nusantara memiliki potensi besar untuk menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia. Dengan kegigihan dan kerja sama dari semua pihak, desa ini dapat menjadi desa yang maju, sejahtera, dan berkelanjutan.

Sumber referensi:

  1. Materi #EcoBloggerSquad Online Gathering
  2. https://www.mongabay.co.id/2016/04/26/desa-ekologi-pembangunan-minim-eksploitasi/ Desa Ekologi, Pembangunan Minim Eksploitasi

When I die, the data live forever ✨ I hope this blog is useful for you and others.